Selasa, 09 Februari 2016

KONDISI DAN NILAI SOSIAL BUDAYA PENDIDIKAN

Kondisi dan Nilai Sosial Budaya Pendidikan
Oleh :
Muhammad Anwar Rubei, M.Pd
Abstrak
Tulisan ini merupakan hasil kajian anlitis mengenai kondisi nilai sosial budaya pendidikan Indonesia.  Berdasarkan analisis yang dilakukan dapat diketahui bahwa secara umum terdapat tujuh kesimpulan bahwa Pendidikan nasional masih berkutat dengan dua pemikiran yang dilematis antara segi kuantitas dan kualitas pendidikan. Namun menjadi sebuah tantangan dan harapan baru bagi pendidikan nasional apbila menjadikan kedua aspek tersebut menjadi satu kesatuan yang utuh dan dipandang sangat penting sehingga nantinya menjadi kekuatan dalam menggali dan menciptakan sumber daya pendidikan. Perlu dilakukan penataan terhadap sistem pendidikan secara kaffah (menyeluruh), terutama berkaitan dengan kualitas pendidikan, serta relevansinya dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja. Dalam hal ini perlu adanya perubahan sosial yang memberi arah bahwa pendidikan merupakan pendekatan dasar dalam proses perubahan itu.
Kata Kunci : Maslah Sosial Pendidikan, Sumber Daya Manusia, Pendekatan Holistik -Futuristik

A.    Pengantar
Pendidikan merupakan sarana utama untuk mensukseskan pembangunan nasional, karena dengan pendidikan diharapkan dapat mencetak sumber daya manusia berkualitas yang dibutuhkan dalam pembangunan. Titik berat pembangunan pendidikan diletakkan pada peningkatan mutu setiap jenjang dan jenis pendidikan serta perluasan kesempatan belajar pada jenjang pendidikan dasar. Pendidikan juga merupakan hal mutlak yang harus dipenuhi dalam upaya meningkatkan taraf hidup suatu bangsa agar tidak sampai menjadi bangsa yang terbelakang dan tertinggal dengan bangsa lain.
Berbicara tentang konsep pendidikan saat ini, bahwasanya pendidikan itu ada dan hidup dan berkembang di dalam masyarakat, maka keduanya memiliki hubungan ketergantungan yang sangat erat. Pendidikan mengabdi kepada masyarakat dan masyarakat menjadi semakin berkembang dan maju melalui pendidikan. Pendidikan adalah sebuah proses pematangan dan pendewasaan masyarakat. Maka lembaga-lembaga pendidikan harus memahami perannya tidak sekadar menjual jasa tetapi memiliki tugas mendasar memformat Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul. Hal ini senada apa yang dikatakan oleh Suwarma, (2001:39), bahwa pendidikan nasional kita masih dihadapkan pada beberapa masalah, antara lain: peningkatan kualitas proses dan hasil, terbatasnya dana yang tersedia dan belum tergalinya sumber dana dari masyarakat secara professional. sesuai dengan prinsip pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan orang tua.
Sementara itu, pendidikan masih terus bergelut dengan semakin menguatnya pendekatan kuantitas sebagai dampak dari upaya memberikan tempat kepada prinsip demokratisasi pendidikan. Disisi lain, masalah kesempatan memperoleh pendidikan lebih memiliki kekuatan politis untuk menyita perhatian para pengambil keputusan dalam pendidikan. Dampaknya, menambah beban kerumitan dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan dan peningkatan kualitas manusia Indonesia. Peningkatan kualitas manusia Indonesia berkaitan erat dalam masalah budaya bangsa, dimana pendidikan yang merupakan bagian integral yang memiliki peran strategis dalam usaha tersebut. Manusia Indonesia harus mampu mengembangkan kualitasnya, sesuai dengan gerak perkembangan masyarakat yang bersifat dinamis, yang menantang  manusia serupa tetap survive, memiliki daya tahan dalam mempertahankan eksistensinya sebagai khalifah di muka bumi.
Kulitas manusia Indonesia dalam menyongsong tahun 2020 harus dan diantisipasi kadar kualitasnya, dimana dalam era abad informasi modern ini diperlukan manusia yang canggih dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Maka pendidikan harus bisa tanggap terhadap tuntutan ini, apabila pendidikan mau memelihara eksistensinya sebagai “ilmu” yang mampu memecahkan berbagai fenomena pendidikan. Untuk dapat berperan secara optimal, pendidikan harus mampu menata dirinya, menunjukkan keterbukaan untuk menerima masukan dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan teknologi, harus bisa menempatkan fenomena pendidikan sebagai masalah social yang merupakan tanggung jawab semua pihak.
Masalah pendidikan amat luas jikalau kita pikirkan, menyangkut berbagai aspek kehidupan, tidak hanya dibtasi dalam kelas saja, bukan persoalan proses belajar mengajar semata, oleh karena itu diperlukan berpikir holistic integralistik futuris dalam memecahkan masalah-masalah pendidikan itu. Kontribusi intervensi berbagai disiplin ilmu-ilmu social yang diperlukan, untuk memecahkan masalah pendidikan dalam menyongsong pembentukan kulitas manusia Indonesia, harus sesuai dengan tuntutan perubahan masyarakat.
Dari uraian-uraian yang telah dipaparkan di atas, maka untuk lebih mempertegas masalah yang akan dikaji dan memperjelas lebih mendalam lagi mengenai kondisi dan nilai social budaya pendidikan, dan pendekatan holistik integralistik futuristik dalam memecahkan masalah pendidikan, di bawah ini di rumuskan satu persatu permasalahan yang akan di bahas pada bab berikutnya, yaitu:
1.      Bagaimana masalah pendidikan dan sumber daya manusia Indonesia
2.      Bagaimana peluang dan tantangan pendidikan
3.      Bagaimana implikasi peluang dan tantangan pendidikan terhadap lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK)
4.      Seperti apa kondisi dan nilai social budaya pendidikan ilmu pengetahuan social (IPS) dalam pembangunan nasional
5.      Bagaimana tantangan dan peluang bagi pendidikan ilmu pengetahuan social (PIPS)
6.      Apa saja implikasi social budaya terhadap pendidikan ilmu pengetahuan social
7.      Bagaimana pendekatan integralistik dan futuristic dalam memecahkan masalah pendidikan
8.      Bagaimana data empirik tentang kualitas manusia Indonesia dan pendidikan


B.     Pendidikan dan Sumber Daya Manusia
Pembicaraan tentang sumber daya manusia senantiasa diorientasikan dalam pemikiran ekonomi yang menempatkan manusia sebagai faktor produksi, sehingga sering terperangkap pada upaya memperkecil peran dan potensi menusia sebagai subyek seutuhnya. berkaitan dengan pendidikan, sumber daya manusia mesti ditempatkan dalam pemikiran manusia sebagai subjek pendidikan yang seutuhnya memiliki potensi untuk mandiri dan berkembang sesuai dengan kodrat dan lingkungannya.
Kaitannya dengan peran pendidikan dalam pengembangan sumber daya manusia, kiranya perlu diantisipasi masalah demografi. Muncul pemikiran para pakar yang memperkirakan bahwa menjelang abad ke 21 penduduk Indonesia akan mencapai sekitar 250 juta orang lebih. Kondisi jumlah seperti ini akan melahirkan empat masalah utama; pangan, lapangan kerja, urbanisasi, tata ruang dan mutu lingkungan hidup. Para pakar ekonomi dan manajemen mengisyaratkan bahwa yang di-pandang strategis adalah usaha peningkatan produktivitas sistem nasional, seyogyanya mendapatkan prioritas utama dalam pembangunan nasional. Jika hal ini dilakukan akan memiliki dampak positif ke berbagai sektor dan dimensi kehidupan bangsa.
Di lain pihak perlu disadari bahwa keberhasilan produktivitas sistem nasional ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya yang diakui bahwa pendidikan merupakan wahana dan aset sosial yang dapat meningkatkan kualitas tersebut. Konsekuensinya, pendidikan tidak hanya terbatas pada proses pendidikan sekolah akan tetapi posisi dan perannya akan semakin meluas menjadi kekuatan sosial budaya.
Pentingnya peran pendidikan dan ilmu pendidikan dalam meningkatkan sumber daya manusia (SDM). Dimana kehidupan manusia makin diwarnai oleh menguatnya hidup kompetitif, dimana kemampuan kompetitif ini merupakan tuntutan bagi pengembangan kualitas. Pendidikan jelas tidak hanya sekedar mengajarkan atau menjejalkan informasi, akan tetapi pendidikan merupakan tranformasi kualitas personal dan kehidupan social budaya. Pendidikan yang merupakan pencurahan informasi, tanpa mengembangkan potensi berpikir peserta didik, akan menjadi sumber daya manusia berkualitas yang tidak mampu berkompetitif.
C.    Peluang dan Tantangan Pendidikan
Pendidikan memiliki banyak peluang untuk menciptakan kondisi berkembangnya potensi manusia, untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, pengetahuan, keterampilan dan kemampuan etos kerja dalam kerangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Peran pendidikan dan ilmu pendidikan seyogyanya tertata dalam proses pembangunan nasional. Kecenderungan menunjukkan titik berat pembangunan dalam bidang pendidikan lebih diarahkan kepada peningkatan mutu pada semua jenjang pendidikan dan memperluas kesempatan pendidikan; terutama pada Sekolah Tingkat Lanjutan Pertama (SLTP). Pendekatan kualitas dan kuantitas sering menimbulkan pemikiran dilematis karena dalam memecahkan pengambilan keputusan dihadapkan kepada dua pilihan kebijakan yang keduanya penting tetapi karena keterbatasan sumber daya (dana, tenaga, dan waktu) dan kendala lain, kedua pilihan itu tidak menggembirakan. Kiranya sulit dihindari bahwa kondisi dan posisi seperti ini merupakan salah satu kelemahan pendidikan sekolah sekarang ini, sementara itu peningkatan kualitas sumber daya manusia menyongsong abad ke-21 yang membawa tuntutan kualitas SDM semakin meningkat merupakan tantangan.
Kemudian persoalan pendidikan nasional dalam peningkatakan sumber daya manusia tidak hanya terperangkap oleh peningkatan mutu dan memperluas kesempatan, akan tetapi juga terperangkap oleh pemikiran, yang memperkecil arti pendidikan dalam formalistik persekolahan yang nantinya akan mempersempit peran pendidikan juga memperckecil makna pendidikan.

D.    Implikasi terhadap Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK)
Peluang dan tantangan dalam usaha memerankan pendidikan dan ilmu pendidikan dalam dalam meningkatkan sumber daya manusia seperti dikemukakan di atas, berdampak terhadap Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) serta nilai sosial tenaga kependidikan dewasa ini. Salah satu dampaknya LPTK lebih terkesan sebagai lembaga yang mempersiapkan “Guru” persekolahan, ketimbang tenaga kependidikan dalam arti luas, yang secara sosiologis menempatkan lapangan kerja lulusan LPTK “dibatasi” pada jalur persekolahan. Kondisi ini makin memperkuat berbagai pihak untuk tidak menerima lulusan lembaga ini, walaupun sebenarnya mereka memerlukan jasa pendidikan dalam rangka peningkatkan sumber daya manusia melalui DIKLAT pada lembaga atau perusahaan mereka. Kondisi ini cenderung menguat dengan adanya berbagai kebijakan yang telah diformalkan masih dirasakan amat membatasi mobilitas SDM lulusan LPTK.
Kiranya sulit disangkal bahwa semakin berkurangnya minat calon mahasiswa untuk LPTK ada kaitannya dengan kondisi tersebut, ditambah dengan jaminan kesejahteraan guru belum menggembirakan, dibanding dengan tenaga pada lapangan lain. Sementara itu peran LPTK dalam pendekatan kuantitas untuk memenuhi kebutuhan guru, lebih menonjol perannya sebagai lembaga pemasok ketimbang sebagai pengembang dan pendukung ilmu pengetahuan. Kiranya LPTK sebagai subsistem dari pendidikan nasional masih juga dihadapkan pada pemikiran dilematis kuantitas dan kualitas yang sulit berkelit dari beban perekayasaan sentralistik dalam kebijakan akademiknya.


E.     Implikasi Sosial Budaya dan Pendidikan
Pendidikan nasional masih diwarnai oleh pemikiran dilematis antara kuantitas dan kualitas pendidikan, memunculkan tantangan bagaimana menjadikan dua sisi tersebut menjadi kekuatan dalam menggali sumber daya pendidikan. Terbatasnya dana dan tenaga pendidikan yang tersedia dihadapkan kepada masalah peningkatan mutu dan kesempatan belajar. Menuntut penggalian sumber daya pendidikan yang terdapat dalam masyarakat dengan konsep pendidikan merupakan tanggung jawab bersama. Disamping itu menempatkan pendidikan tidak terbatas dalam pemikiran formalistik persekolahan. Sementara itu perlu adanya reposisi pendidikan termasuk pendidikan IPS dijadikan titik orentasi pengembangan, Maka pendidikan akan lebih berperan dalam mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia yang unggul untuk mendukung tumbuh berkembangnya teknologi social dan system social.
F.     Pendekatan Integralistik dan Futuristik
Pendekatan integralistik menempatkan masalah pendidikan merupakan bagian integral dari masalah social budaya, konsekuensinya keharusan menggunakan pendekatan interdisipliner dan multi disiplin dalam menganalisa masalah sosial. Pendekatan futuris, pendekatan yang mengantisipasi pendidikan menjorok kepada masa mendatang, pendekatan pemecahan masalah pendidikan didasarkan atas antisipasi perubahan social. Menurut Tilaar (1967), futurisme lahir dikarenakan oleh adanya dua jenis keresahan menganalisis pendidikan dewasa ini: pendekatan tidak mengantisipasi perubahan social yang bakal terjadi, isi kurikulum terutama diarahkan kepada masyarakat sekarang, yang mengakibatkan pendidikan itu steril terhadap masa depan dan terpaku terhadap kebutuhan jangka pendek. Menurut Tilaar, sikap ini tidak lain membuka jalan kearah katasropi, dan dengan demikian pendidikan telah kehilangan “nilai moralnya”. Tanpa dilakukan pendekatan ini, pendidikan tidak akan mampu memecahkan persoalannya secara tuntas dan akan timbul kembali masalah yang lebih serius dalam waktu yang sangat singkat.
Dalam menyongsong era informasi modern, kualitas manusia yang menurut Soepardjo Adikusumo ditandai dengan informational capability, analytical capability, dan scanning capability, pendidikan harus mampu memunculkan ketiga kemampuan tersebut. Untuk itu pendidikan harus mampu memberikan kemudahan memperoleh informasi, menganalisis informasi, dan mendayagunakannya untuk memecahkan masalah kehidupan.
G.    Data empirik tentang kualitas manusia Indonesia dan Pendidikan
Manusia Indonesia lebih mengutamakan ijazah (hasil) daripada kemampuan, sejalan dengan itu pendidikan hanya bersifat hafalan dan orientasi kepada pemilikan ijazah, ditunjang dengan budaya sector formal yang lebih mementingkan aspek formal daripada kemampuan nyata, lembaga pendidikan formal nyaris sebagai tempat pendapatan ijazah daripada melatih guna mendapatkan kemampuan.
Masalah pendidikan di Indonesia masih berkisar/bergelut dengan masalah kuantitas untuk sekolah menengah, dengan kualitas lebih ditekankan kepada pendidikan dasar dan pendidikan tinggi. Pendidikan masih menutup diri dari intervensi IPTEK, mempersempit diri hanya bertumpu pada pendidikan formal, wawasan filosofis tergeser oleh desakan pragmatis dan konvensional, sehingga antisipasi futuris kualitas manusia Indonesia tidak menjadi dasar pembentukan kebijaksanaan pemecahan masalah pendidikan. Akibatnya pendekatan parsial dan formal mendominasi pengahampiran fenomena pendidikan, makin menjauh tuntutan dan kenyataan.
Terdapat beberapa gejala perilaku yang dapat merusak kualitas manusia Indonesia yang merupakan tantangan dan ancaman, seperti: kemerosotan nilai-nilai etis idealitas tergeser oleh egoisme untuk keuntungan pribadi, rendahnya nilai-nilai kesetiakawanan, tumbuhnya nilai-nilai spekulatif, responsive terhadap kemudahan-kemudahan yang ditawarkan tanpa pemikiran yang rasional, budaya gengsi lebih tinggi sehingga nilai-nilai keropos berusaha ditutupi, menampilkan berbagai pola tingkah laku yang tidak solid, menurunnya mitos simbolik.
Meluntunya nilai-nilai kemandirian seiring dengan membudayanya nilai-nilai korupsi, melemahnya semangat kerja keras, mudah menyerah, semanat kejuangan yang dapat melahirkan pasrah terhadap keadaan apatis, menghindari dari kesulitan, ingin selalu mendapatkan “kebijaksanaan” sekalipun melanggar kesepakatan umum.
H.    Analisis dan Pembahasan
1.      Pendidikan dan Sumber Daya manusia
Pendidikan merupakan investasi besar bagi sebuah negara. Pendidikan menyangkut kepentingan semua warga negara, masyarakat, negara, kelembagaan dan berbagai kepentingan lain. Ini disebabkan pendidikan berkaitan erat dengan outcomenya berupa tersedianya sumber daya manusia (SDM) yang handal untuk menyuplai berbagai kepentingan. Oleh sebab itu titik berat pembangunan pendidikan terletak pada peningkatan mutu setiap jenis dan jenjang, serta perluasan kesempatan belajar pada pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Pendidikan memegang kunci keberhasilan suatu negara di masa depan. Namun kenyataan membuktikan, khususnya di Indonesia, pendidikan masih belum dipandang vital, khususnya oleh para pemegang tampuk kepemimpinan negara.
Menurut Tilaar (2004), pendidikaan saat ini telah direduksikan sebagai pembentukan intelektual semata sehingga menyebabkan terjadinya kedangkalan budaya dan hilangnya identitas lokal dan nasional. Perubahan global dan liberalisasi pendidikan memaksa lembaga-lembaga pendidikan menghasilkan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Pendidikan yang hanya berorientasi pasar sesungguhnya telah kehilangan akar pada kesejatian dan identitas diri. Gejala-gejala pendangkalan ini sekarang mudah dibaca.
Misi pendidikan adalah mewariskan ilmu dari generasi ke generasi selanjutnya. Ilmu yang dimaksud antara lain pengetahuan, tradisi dan nilai-nilai budaya (keberadaban). Secara umum penularan ilmu tersebut telah diemban oleh orang-orang yang konsen terhadap generasi selanjutnya. Mereka diwakili oleh orang yang punya visi kedepan, yaitu menjadikan generasi yang lebih baik dan beradab. Apabila berbicara pendidikan berskala nasional maka secara umum konsep pendidikan nasional di Indonesia tak lagi memperlihatkan keberpihakan terhadap dunia pendidikan di berbagai daerah. Salah satu contoh yaitu kontroversial mengenai Ujian Nasional yang memperlihatkan betapa sentralistiknya pendidikan saat ini. Pusat terkesan memaksa seleranya terhadap anak didik di daerah.
Hal senada dengan apa yang dikatakan oleh Tilaar (2012:156), bahwa: system pendidikan nasional yang sangat sentralistik dan kemudian melaksanakan Ujian Nasional (UN) yang kaku bahkan akan mematikan kemampuan kreativitas peserta didik. Dengan adanya UN yang sama dari Sabang sampai Merauke, maka tidak da peluang untuk pengembangan kreativitas peserta didik. Belum lagi impilkasi yang terjadi terhadap kerusakan moral dari peserta didik karena tujuannya ialah lulus dari UN dengan berbagai cara meskipun dengan cara-cara amoral.
Sesungguhnya pendidikan nasional harus bertitik-tolak kebutuhan anak Indonesia. Artinya pendidikan tidak terlepas dari kebudayaan serta dalam konteks social ekonomi suatu bangsa. Pendidikan nasional yang sesuai dengan kebutuhan anak Indonesia berkaitan dengan kebijakan desentralisasi serta otonomi daerah. Dengan adanya otonomi pendidikan yang diberikan kepada Pemerintah Daerah merupakan suatu hal yang positif dalam rangka kontekstualisasi pendidikan yang disesusaikan dengan kebudayaan local serta potensi kekayaan alam Nusantara. Dengan proses belajar kritis dan kreatif berarti pendidikan nasional meletakkan dasar bagi lahirnya para inventor dan manusia yang bisa menciptakan peluang usaha dalam masyarakat Indonesia.
2.      Bagaimana Peluang dan Tantangan Pendidikan Kita ke depan
Menghadapi perubahan dan tuntutan zaman, maka sistem pendidikan kita semestinya harus memikirkan bagaimana bisa menciptakan manusia-manusia yang handal dan manusia yang kreatif apabila telah keluar dari lembaga pendidikan yang telah ditempuhnya. Bukan malah sebaliknya hanya terfokus pada kuantitas keluarannya, melainkan kualitas juga perlu dipertimbangkan dengan matang. Saat ini semua umat manusia sedang memuja globalisasi (manusia mengglobal). Maka sudah semestinya lah semua pihak yang terkait (pemerintah maupun komponen masyarakat) memikirkan kualitas pendidikan untuk pendidikan generasi masa kini dan masa depan.
Namun untuk mencapai dan meningkatkan kualitas pendidikan kita pastinya akan mengalami hambatan atau tantangan baik dari penyusunan kurikulum mapun pelaksana kurikulum serta dihadapkan masalah pengaruh negative globalisasi terhadap manusia Indonesia. Dalam kaitannya dengan pendidikan, Tilaar, (1998), mengemukakan bahwa pendidikan nasional dewasa ini sedang dihadapkan pada empat krisis pokok, yang berkaitan dengan kuantitas, relevansi atau efisiensi eksternal, elitisme dan manajemen. Lebih lanjut dikemukakan bahwa sedikitnya ada enam masalah pokok sistem pendidikan nasional: (1) menurunnya akhlak dan moral peserta didik, (2) pemerataan kesempatan belajar, (3) masih rendahnya efisiensi internal sistem pendidikan, (4) status kelembagaan, (5) manajemen pendidikan yang tidak sejalan dengan pembangunan nasional, dan (6) sumber daya yang belum profesional.
Menghadapi hal tersebut, perlu dilakukan penataan terhadap sistem pendidikan secara kaffah (menyeluruh), terutama berkaitan dengan kualitas pendidikan, serta relevansinya dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja. Dalam hal ini perlu adanya perubahan sosial yang memberi arah bahwa pendidikan merupakan pendekatan dasar dalam proses perubahan itu. Pendidikan adalah kehidupan, untuk itu kegiatan belajar harus dapat membekali peserta didik dengan kecakapan hidup (life skill atau life competency) yang sesuai dengan lingkungan kehidupan dan kebutuhan peserta didik. Pemecahan masalah secara reflektif sangat penting dalam kegiatan belajar mengajar yang dilakukan melalui kerjasama secara demokratis. Unesco (1990) mengemukakan dua prinsip pendidikan yang sangat relevan dengan Pancasila: pertama; pendidikan harus diletakkan pada empat pilar, yaitu belajar mengetahui (learning to know), belajar melakukan (learning to do), belajar hidup dalam kebersamaan (learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be); kedua,  belajar seumur hidup (life long learning). Kultur yang demikian harus dikembangkan dalam pembangunan manusia, karena pada akhirnya aspek kultural dari kehidupan manusia lebih penting dari pertumbuhan ekonomi.

3.      Bagaimana implikasi tantangan pendidikan terhadap Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidikan (LPTK)
Mengutip pendapat Al Muchtar, S. (2001:45), bahwasanya peluang dan tantangan dalam usaha memerankan pendidikan dan ilmu pendidikan dalam meningkatkan sember daya manusia, berdampak terhadap LPTK serta nilai social tenaga kependidikan dewasa ini. Salah satu dampaknya LPTK lebih terkesan sebagai lembaga yang mempersiapkan “Guru” persekolahan, ketimbang tenaga kependidikan dalam arti luas, yang secara sosiologis menempatkan lapangan kerja lulusan LPTK “dibatasi” pada jalur persekolahan.
Dari pendapat di atas, menurut saya, pemikiran tersebut masih relevan dengan keadaan yang terjadi saat ini. Lulusan LPTK kurang diperhatikan dan kurang dipedulikan dalam dunia kerja yang berkenaan dengan lapangan kerja untuk perusahaan. Dan yang lebih kasihan lagi, LPTK menjadi pusat kesalahan besar bagi masyaralat dalam dunia pendidikan apabila tingkat kelulusan siswa sangat rendah. Hal ini sering terjadi, apabila siswanya bodoh dan tidak naik kelas atau tidak lulus, maka yang disalahkan adalah gurunya. Kemudian akan merembet kepada” lulusan perguruan tinggi mana guru itu”. Nah, ini yang menjadi bahan pemikiran bersama, bagaimana LPTK bisa mencetak guru-guru yang professional dan mempunyai kompetensi di bidangnya. Dan tidak hanya kompetensi yang harus dikembangkan, namun juga kemampuan bidang lainnya dan keterampilan (skill) juga perlu dimiliki calon lulusan guru. Mengapa demikian, karena untuk mencetak siswa yang berprestasi dan handal, maka peran guru sangat penting (urgen) mendidik, mengajar. membimbing, dan melatih siswa dalam proses pembelajaran di sekolah.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan kualitas tenaga guru, maka guru dan tenaga kependidikan professional harus menjalani proses pembinaan dan pengembangan secara kontinyu. pembinaan dan pengembangan profesi dan karir guru, termasuk juga tenaga kependidikan pada umunya, dilaksanakan melalui berbagai strategi dalam bentuk pendidikan dan pelatihan (diklat) maupun bukan diklat (Danim, S. 2010), antara lain:
1)      Pendidikan dan pelatihan
a.       In-house training (IHT)
b.      Program magang
c.       Kemitraan sekolah
d.      Belajar jarak jauh
e.       Pelatihan berjenjang
f.       Kursus singkat diperguruan tinggi atau lembaga pendidikan lainnya
g.      Pembinaan internal oleh sekolah
h.      Pendidikan lanjut
2)      Kegiatan selain pendidikan dan pelatihan
a.       Diskusi masalah-masalah pendidikan
b.      Seminar
c.       Workshop
d.      Penelitian
e.       Penulisan buku/bahan ajar
f.       Pembuatan media pembelajaran
g.      Pembuatan karya teknologi/karya seni


6.       Implikasi sosial budaya dan pendidikan
Pendidikan saat ini telah direduksikan sebagai pembentukan intelektual semata, sehingga menyebabkan terjadinya kedangkalan budaya dan hilangnya identitas lokal dan nasional (Tilaar, 2004). Perubahan yang global dengan liberalisasi pendidikan sehingga menuntut lembaga pendidikan untuk mampu menghasilkan kualitas peserta didik yang dapat bersaing secara kompetitif agar dapat diterima pasar. Tuntutan untuk memenuhi kebutuhan pasar ini pada akhirnya akan mendorong lembaga pendidikan menjadi lebih bercirikan knowledge based economy institution. Pendidikan yang hanya berorientasi untuk mencetak generasi yang bisa diterima pasar secara ekonomis hanya akan mampu mencetak peserta didik yang berpikir dan bertindak global sehingga mereka tidak memiliki kecerdasan emosional yang akhirnya bermuara pada terjadinya krisis moral dari peserta didik.
Landasan sosial budaya pendidikan mencakup kekuatan sosial masyarakat yang selalu berkembang dan berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Kekuatan tersebut dapat berupa kekuatan nyata dan potensial yang berpengaruh dalam perkembangan pendidikan dan sosial budaya seiring dengan dinamika masyarakat. Sehingga kondisi sosial budaya diasumsikan mempengaruhi terhadap program pendidikan yang tercermin dalam kurikulum. Hunt (1975) mengemukakan:
Study hits base social and culture from education aims to supply teacher with erudition that deepen about society and where they alive and to help student teacher to detect that explanation hits society and culture of vital importance mean to realize about education problem.
Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan bahwa kajian mengenai dasar sosial dan budaya dari pendidikan bertujuan untuk membekali guru dengan pengetahuan yang mendalam tentang masyarakat dan kebudayaan di mana mereka hidup dan untuk membantu calon guru untuk mengetahui bahwa pengertian mengenai masyarakat dan kebudayaan sangat penting artinya guna memahami tentang masalah pendidikan.
Kebudayaan dan pendidikan memiliki hubungan timbal balik sebab kebudayaan dapat dilestarikan dan dikembangkan dengan jalan mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi penerus dengan jalan pendidikan, baik secara formal, nonformal, dan informal. Sebaliknya bentuk, ciri-ciri, dan pelaksanaan pendidikan ikut ditentukan oleh kebudayaan masyarakat di mana proses pendidikan itu berlangsung (Tirtarahardja dan Sulo, 2005). Pendidikan jika diabaikan dapat diasumsikan sosial budaya suatu bangsa akan mengalami kepunahan karena tidak ada proses transfer budaya sehingga tidak ada yang melestarikan dan mengembangkan budaya.
Pendidikan bisa dikatakan sebagai proses transformasi budaya yang merupakan kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Pendidikan merupakan proses pemanusiaan untuk menjadikan manusia memiliki rasa kemanusiaan (memanusiakan manusia), menjadi manusia dewasa, dan manusia seutuhnya agar mampu menjalankan tugas pokok dan fungsi secara penuh dan mengembangkan budaya.
7.       Bagaimana pendekatan Integralistik dan futuristik dalam memecahkan masalah pendidikan
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Mengapa?, kita dapat melihat bahkan merasakan bahwa cita-cita pendidikan yang tertuang dalam tujuan pendidikan nasional tidak terealisasi hingga kini. Sebagaimana yang termaktub dalam Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II pasal 3, yang berbunyi:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan. Apa jadinya bila pembangunan di Indonesia tidak dibarengi dengan pembangunan di bidang pendidikan?. Walaupun pembangunan fisiknya baik, tetapi apa gunanya bila moral bangsa terpuruk.
Dan hal inilah yang terjadi, sehingga semua bidang kehidupan bermasalah. Beberapa kenyataan yang sering kita jumpai bersama, seorang pengusaha kaya raya justru tidak dermawan, seorang politikus malah tidak peduli pada tetangganya yang kelaparan, atau seorang guru justru tidak prihatin melihat anak-anak jalanan yang tidak mendapatkan kesempatan belajar di sekolah dan begitu banyak pemimpin-pemimpin negara ini yang korupsi dari lapisan bawah hingga atas.
Pendidikan di Indonesia masih mengalami berbagai macam problematika. Salah satunya adalah kerancuan sistem pendidikan yang masih bersifat positivistic dan parsial dalam memandang peserta didik. Dalam konteks parsialisasi ini, peserta didik tidak dipandang sebagai sosok manusia yang memiliki kepribadian secara utuh (integral), melainkan seakan terdiri dari berbagai unsur (komponen) yang berdiri sendiri. Cara pandang terhadap kepribadian peserta didikpun tidak sempurna dan tidak adil. Akal dipandang sebagai raja" dalam struktur kepribadian peserta didik. Akibat dari cara pandang seperti ini proses pendidikan dan pengajaran mengalami pendangkalan makna sebagai penjejalan pengetahuan ke dalam otak peserta didik.
Oleh karena itu perlu pendekatan pembelajaran integralistik dalam mengatasi masalah pendidikan. Pendekatan integralistik, dikenal juga dengan holistik (sesuai dengan makna harfiah keduanya :keseluruhan) adalah pendekatan secara menyeluruh atau terpadu dengan mencari hubungan fungsional maupun komplementer dari semua komponen yang terlibat dalam suatu proses. (Ludjito, A.1995). kemudian Suwarma (2001) mengatakan bahwa, pendekatan holistic memandang pendidikan secara menyeluruh, sebagai persoalan yang menyangkut aspek kehidupan yang menuntut tanggung jawab bersama.
Sutarno mengemukakan bahwa pendekatan Holistik (Integralistik), pendidikan merupakan proses yang utuh, melahirkan formulasi hakekat pendidikan sebagai suatu proses menumbuhkembangkan eksistensi peserta didik yang memasyarakat, membudaya dalam tata kehidupan yang berdimensi lokal, nasional, dan global. Komponen-komponen yang terkandung di dalamnya:
1.      Pendidikan merupakan suatu proses berkesinambungan.
2.      Proses pendidikan berarti menumbuh-kembangkan eksistensi manusia.
3.      Eksistensi manusia yang memasyarakat.
4.      Proses pendidikan dalam masyarakat yang membudaya.
5.      Proses bermasyarakat dan membudaya mempunyai dimensi waktu dan ruang
Pendidikan yang mampu mendukung pembangunan di masa mendatang adalah pendidikan yang mampu mengembangkan potensi peserta didik, sehingga yang bersangkutan mampu menghadapi dan memecahkan problema kehidupan yang dihadapinya. Pendidikan harus menyentuh potensi nurani maupun potensi kompetensi peserta didik. Konsep pendidikan tersebut terasa semakin penting ketika seseorang harus memasuki kehidupan di masyarakat dan dunia kerja, karena yang bersangkutan harus mampu menerapkan apa yang dipelajari di sekolah untuk menghadapi problema yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari saat ini maupun yang akan datang.
Pendidikan merupakan proses sistematis untuk meningkatkan martabat manusia secara holistik, yang memungkinkan ketiga dimensi kemanusiaan paling elementer di atas dapat berkembang secara optimal. Dengan demikian, pendidikan seyogyanya menjadi wahana strategis bagi upaya mengembangkan segenap potensi individu, sehingga cita-cita membangun manusia Indonesia seutuhnya dapat tercapai (Depdiknas, 2005).
Pendidikan holistik menurut Jeremy Henzell-Thomas diacu dalam Latifah (2008) merupakan suatu upaya membangun secara utuh dan seimbang pada setiap murid dalam seluruh aspek pembelajaran, yang mencakup spiritual, moral, imajinatif, intelektual, budaya, estetika, emosi dan fisik yang mengarahkan seluruh aspek-aspek tersebut ke arah pencapaian sebuah kesadaran tentang hubungannya dengan Tuhan yang merupakan tujuan akhir dari semua kehidupan didunia.
Pendidikan Holistik merupakan suatu respon yang bijaksana atas ekologi, budaya, dan tantangan moral pada abad ini, yang bertujuan untuk mendorong para kaum muda sebagai generasi penerus untuk dapat hidup dengan bijaksana dan bertanggung jawab dalam suatu masyarakat yang saling pengertian dan secara berkelanjutan serta ikut berperan dalam pembangunan masyarakat. Pendidikan holistik berkembang sekitar tahun 1960-1970 sebagai akibat dari keprihatinan tewrhadap krisis ekologis, dampak nuklir, polusi kimia, dan radiasi, kehancuran keluarga, hilangnya masyarakat tradisional, hancurnya nilai-nilai tradisional serta institusinya.
Pada saat ini banyak model pendidikan yang berdasarkan pandangan abad ke 19 yang menekankan pada reductionism (belajar terkotak-kotak), linier thinking (bukan sistem) dan positivisme (fisik yang utama), yang membuat siswa sulit untuk memahami meaning relevance dan value antara yang dipelajari disekolah dengan kehidupannya. Oleh karena itu, dibutuhkan sistem pendidikan yang terpusat pada anak yang dibangun berdasarkan asumsi connectedness, wholeness dan being fully human.
Untuk mencapai tujuan pendidikan holistik, maka kurikulum yang dirancang juga harus diarahkan untuk mencapai tujuan pembentukan manusia holistik. Termasuk di dalamnya membentuk anak menjadi pembelajar sejati, yang senantiasa berpikir holistik, bahwa segala sesuatu adalah saling terkait atau berhubungan. Beberapa pendekatan pembelajaran yang dianggap efektif untuk menjadikan manusia pembelajar sejati diantaranya adalah pendekatan siswa belajar aktif, pendekatan yang merangsang daya minat anak atau rasa keingintahuan anak, pendekatan belajar bersama dalam kelompok, kurikulum terintegrasi, dan lain-lain (Megawangi et.al, 2005).
Pendidikan holistik dapat diaplikasikan dalam proses pembelajaran dengan beberapa cara, diantaranya dengan menerapkan Integrated Learning atau pembelajaran terintergrasi/ terpadu, yaitu suatu pembelajaran yang memadukan berbagai materi dalam satu sajian pembelajaran. Inti pembelajaran ini adalah agar siswa memahami keterkaitan antara satu materi dengan materi lainnya, antara saru mata pelajaran dengan mata pelajaran lain. Dari integrated learning inilah muncul istilah integrated curriculum (kurikulum terintegrasi/terpadu). Karakteristik kurikulum terintegrasi menurut Lake dalam Megawangi, et.al (2005) antara lain : Adanya keterkaitan antar mata pelajaran dengan tema sebagai pusat keterkaitan, menekankan pada aktivitas kongkret atau nyata, memberikan peluang bagi siswa untuk bekerja dalam kelompok. Selain memberikan pengalaman untuk memandang sesuatu dalam perspektif keseluruhan, juga memberikan motivasi kepada siswa untuk bertanya dan mengetahui lebih lanjut mengenai materi yang dipelajarinya.
Kurikulum terintegrasi dalam pendidikan holistik membuat siswa belajar sesuai dengan gambaran yang sesungguhnya, hal ini karena kurikulum terintegrasi mengajarkan keterkaitan akan segala sesuatu sehingga terbiasa memandang segala sesuatu dalam gambaran yang utuh. Kurikulum terintegrasi dapat memberikan peluang kepada siswa untuk menarik kesimpulan dari berbagai sumber infomasi berbeda mengenai suatu tema, serta dapat memecahkan masalah dengan memperhatikan faktor- faktor berbeda (ditinjau dari berbagai aspek). Selain itu dengan kurikulum terintegrasi, proses belajar menjadi relevan dan kontekstual sehingga berarti bagi siswa dan membuat siswa dapat berpartsipasi aktif sehingga seluruh dimensi manusia terlibat aktif (fisik, social, emosi, akademik).
Berbicara tentang pendektan futuristic, dengn mengutip pendapat Suwarma (2001:53), mengatakan bahwa pendekatan futuris merupakan pendekatan yang mengantisipasi pendidikan menjorok kepada masa mendatang, pendekatan pemecahan masalah pendidikan didasarkan atas antisipasi perubahan social pada masa mendatang. Dalam konteks pembelajaran, Futuristic model memasukkan pendekatan yang berpusat pada pembelajar ke dalam pendidikan di mana pembelajar mengerti kekuatan dan kelemahannya sebagai pembelajar, dan di mana pembelajar dapat diberikan kuasa untuk menjadi pembelajar seumur hidup (life-long learner). Pengalaman belajar dirancang untuk membantu pembelajar untuk mengintegrasikan pengetahuan yang baru dan meningkatkannya melalui wawasan yang baru dengan membandingkan, membedakan, menginduksi, mendeduksi dan menganalisis. Sebagai tambahan, pengalaman belajar menyediakan kesempatan bagi pembelajar untuk menggunakan pengetahuan itu secara bermakna dalam (1) pengambilan keputusan yang diinformasikan, (2) pemikiran yang kritis, kreatif dan futuristik, dan (3) pemecahan masalah.
Model futuristik dibentuk dengan asumsi bahwa masa depan berbeda dengan masa lalu. Oleh karena itu pembelajar perlu di didik agar mereka siap untuk menghadapi tantangan di masa depan. Perspektif masa depan sering dikaitkan dengan kurikulum rekonstruksi sosial, yang menekankan kepada proses mengembangkan hubungan antara kurikulum dan kehidupan sosial, yang menekankan kepada proses mengembangkan hubungan antara kurikulum dan kehidupan sosial, politik, dan ekonomi masyarakat. Setiap individu harus mampu mengenali berbagai permasalahan yang ada di masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan yang sangat cepat.
Dengan kata lain, kurikulum dengan futuristic model akan mencetak pembelajar yang diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah yang akan timbul di masa mendatang, juga mempersiapkannya untuk terjun ke dalam masyarakat masa depan sesuai dengan prediksi yang telah dilakukan.
Ada tiga pendekatan dalam implementasi model kurikulum ini, yaitu:
1)      Materi akan disediakan melalui berbagai representasi dengan berbagai strategi untuk merealisasikannya.
2)      Kurikulum akan dirancang sebagai modul dan diakses melaui jaringan (network).
3)      Materi, pengalaman dan dukungan akan diambil dari sumber yang luas dan terintegrasi dalam struktur inti suatu kurikulum.


8.       Masalah kualitas manusia Indonesia dan Pendidikan
Kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang, guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun
Terdapat beberapa gejala perilaku yang dapat merusak kualitas manusia Indonesia yang merupakan tantangan dan ancaman, seperti: kemerosotan nilai-nilai etis idealitas tergeser oleh egoisme untuk keuntungan pribadi, rendahnya nilai-nilai kesetiakawanan, tumbuhnya nilai-nilai spekulatif, responsive terhadap kemudahan-kemudahan yang ditawarkan tanpa pemikiran yang rasional, budaya gengsi lebih tinggi sehingga nilai-nilai keropos berusaha ditutupi, menampilkan berbagai pola tingkah laku yang tidak solid, menurunnya mitos simbolik (Suwarma, 2001).
Masalah kualitas manusia pada dasarnya tergantung dengan pendidikan yang ada dalam sebuah Negara. Perlunya pemerataan pendidikan di Negara Indonesia biar semua masyarakat bisa merasakan dan mengenyam pendidikan.
I.       Kesimpulan
1.      Pendidikan nasional masih berkutat dengan dua pemikiran yang dilematis antara segi kuantitas dan kualitas pendidikan. Namun menjadi sebuah tantangan dan harapan baru bagi pendidikan nasional apbila menjadikan kedua aspek tersebut menjadi satu kesatuan yang utuh dan dipandang sangat penting sehingga nantinya menjadi kekuatan dalam menggali dan menciptakan sumber daya pendidikan.
2.      Perlu dilakukan penataan terhadap sistem pendidikan secara kaffah (menyeluruh), terutama berkaitan dengan kualitas pendidikan, serta relevansinya dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja. Dalam hal ini perlu adanya perubahan sosial yang memberi arah bahwa pendidikan merupakan pendekatan dasar dalam proses perubahan itu. Pendidikan adalah kehidupan, untuk itu kegiatan belajar harus dapat membekali peserta didik dengan kecakapan hidup (life skill atau life competency) yang sesuai dengan lingkungan kehidupan dan kebutuhan peserta didik.
3.      Untuk meningkatkan kualitas tenaga guru, maka guru dan tenaga kependidikan professional harus menjalani proses pembinaan dan pengembangan secara kontinyu. pembinaan dan pengembangan profesi dan karir guru, termasuk juga tenaga kependidikan pada umunya, dilaksanakan melalui berbagai strategi dalam bentuk pendidikan dan pelatihan (diklat) maupun bukan diklat.
4.      Pendidikan di Indonesia masih mengalami berbagai macam problematika. Salah satunya adalah kerancuan sistem pendidikan yang masih bersifat positivistic dan parsial dalam memandang peserta didik. Dalam konteks parsialisasi ini, peserta didik tidak dipandang sebagai sosok manusia yang memiliki kepribadian secara utuh (integral), melainkan seakan terdiri dari berbagai unsur (komponen) yang berdiri sendiri. Cara pandang terhadap kepribadian peserta didikpun tidak sempurna dan tidak adil. Akal dipandang sebagai raja" dalam struktur kepribadian peserta didik. Akibat dari cara pandang seperti ini proses pendidikan dan pengajaran mengalami pendangkalan makna sebagai penjejalan pengetahuan ke dalam otak peserta didik.
5.      Pendidikan Nasional harus mampu melahirkan sumber daya manusia yang handal dan berakhlak mulai, yang mampu bekerja sama dan bersaing, menguasai ilmu pengetahuan dan teknolgi, memiliki etos kerja, dan mampu membangun budaya kerja yang lebih produktif dalam menghadapi era globalisasi.

DAFTAR PUSTAKA
Al Muchtar (2001). Pendidikan dan Masalah Sosial Budaya. Bandung: Gelar Pustaka Mandiri
Danim, S. (2010). Profesi Kependidikan. Bandung. Alfabeta.
Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Kurikulum 2004 : Kompetensi Standar Mata Pelajaran Sains. Jakarta: DepdiknasRepublik Indonesia.
Dipdiknas, 2006, Panduan Pengembangan Silabus Mata Pelajaran IPS SMP/Mts, Jakarta: Direktorat Pembinaan SMP.
Depdiknas. 2005. Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005 – 2009. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.
Latifah, M.2008. Pendidikan Holistik. Bahan Kuliah (tidak dipublikasikan). Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Megawangi, R., Melly L., Wahyu F.D. 2005. Pendidikan Holistik. Cimanggis: Indonesia Heritage Foundation
Somantri (1993). Beberapa Pokok Pikiran tentang: Penelusuran Filsafah Ilmu tentang Pendidikan IPS  dan kaitan Struktural-Fungsionalnya dengan Disiplin Ilmu-Ilmu Sosial. Ujung Pandang: Panitia Forum Komunikasi IV Pimpinan FPIPS IKIP dan JIPS-FKIP Universitas.
Tilaar, H.A.R., 1999, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Tilaar, A. R. 2004. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.
Tirtarahardja, U., dan Sulo, S. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
(_____,2009, http://www.scribd.com/doc/13977506/Teacher-Professionalism)



1 komentar:

KKL mahasiswa Prodi PPKn di Kota Singkawang

  https://pontianak.tribunnews.com/2023/06/07/prodi-ppkn-ikip-pgri-pontianak-gelar-kuliah-umum-di-kota-tertoleran-se-indonesia-2022 https://...