Kondisi dan Nilai Sosial Budaya Pendidikan
Oleh :
Muhammad Anwar
Rubei, M.Pd
Abstrak
Tulisan ini
merupakan hasil kajian anlitis mengenai kondisi nilai sosial budaya pendidikan
Indonesia. Berdasarkan analisis yang
dilakukan dapat diketahui bahwa secara umum terdapat tujuh kesimpulan bahwa
Pendidikan nasional masih berkutat dengan dua pemikiran yang dilematis antara
segi kuantitas dan kualitas pendidikan. Namun menjadi sebuah tantangan dan
harapan baru bagi pendidikan nasional apbila menjadikan kedua aspek tersebut
menjadi satu kesatuan yang utuh dan dipandang sangat penting sehingga nantinya
menjadi kekuatan dalam menggali dan menciptakan sumber daya pendidikan. Perlu
dilakukan penataan terhadap sistem pendidikan secara kaffah (menyeluruh), terutama berkaitan dengan kualitas pendidikan,
serta relevansinya dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja. Dalam hal ini
perlu adanya perubahan sosial yang memberi arah bahwa pendidikan merupakan
pendekatan dasar dalam proses perubahan itu.
Kata Kunci :
Maslah Sosial Pendidikan, Sumber Daya Manusia, Pendekatan Holistik -Futuristik
A.
Pengantar
Pendidikan merupakan
sarana utama untuk mensukseskan pembangunan nasional, karena dengan pendidikan
diharapkan dapat mencetak sumber daya manusia berkualitas yang dibutuhkan dalam
pembangunan. Titik berat pembangunan pendidikan diletakkan pada peningkatan
mutu setiap jenjang dan jenis pendidikan serta perluasan kesempatan belajar
pada jenjang pendidikan dasar. Pendidikan juga merupakan hal mutlak yang harus
dipenuhi dalam upaya meningkatkan taraf hidup suatu bangsa agar tidak sampai
menjadi bangsa yang terbelakang dan tertinggal dengan bangsa lain.
Berbicara tentang
konsep pendidikan saat ini, bahwasanya pendidikan itu ada dan hidup dan
berkembang di dalam masyarakat, maka keduanya memiliki hubungan ketergantungan
yang sangat erat. Pendidikan mengabdi kepada masyarakat dan masyarakat menjadi
semakin berkembang dan maju melalui pendidikan. Pendidikan adalah sebuah proses
pematangan dan pendewasaan masyarakat. Maka lembaga-lembaga pendidikan harus
memahami perannya tidak sekadar menjual jasa tetapi memiliki tugas mendasar
memformat Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul. Hal ini senada apa yang
dikatakan oleh Suwarma, (2001:39), bahwa pendidikan nasional kita masih
dihadapkan pada beberapa masalah, antara lain: peningkatan kualitas proses dan
hasil, terbatasnya dana yang tersedia dan belum tergalinya sumber dana dari
masyarakat secara professional. sesuai dengan prinsip pendidikan merupakan
tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan orang tua.
Sementara itu,
pendidikan masih terus bergelut dengan semakin menguatnya pendekatan kuantitas
sebagai dampak dari upaya memberikan tempat kepada prinsip demokratisasi
pendidikan. Disisi lain, masalah kesempatan memperoleh pendidikan lebih
memiliki kekuatan politis untuk menyita perhatian para pengambil keputusan
dalam pendidikan. Dampaknya, menambah beban kerumitan dalam usaha meningkatkan
mutu pendidikan dan peningkatan kualitas manusia Indonesia. Peningkatan
kualitas manusia Indonesia berkaitan erat dalam masalah budaya bangsa, dimana
pendidikan yang merupakan bagian integral yang memiliki peran strategis dalam
usaha tersebut. Manusia Indonesia harus mampu mengembangkan kualitasnya, sesuai
dengan gerak perkembangan masyarakat yang bersifat dinamis, yang menantang manusia serupa tetap survive, memiliki daya
tahan dalam mempertahankan eksistensinya sebagai khalifah di muka bumi.
Kulitas manusia
Indonesia dalam menyongsong tahun 2020 harus dan diantisipasi kadar
kualitasnya, dimana dalam era abad informasi modern ini diperlukan manusia yang
canggih dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Maka pendidikan harus
bisa tanggap terhadap tuntutan ini, apabila pendidikan mau memelihara
eksistensinya sebagai “ilmu” yang mampu memecahkan berbagai fenomena
pendidikan. Untuk dapat berperan secara optimal, pendidikan harus mampu menata
dirinya, menunjukkan keterbukaan untuk menerima masukan dari berbagai disiplin
ilmu pengetahuan dan teknologi, harus bisa menempatkan fenomena pendidikan sebagai
masalah social yang merupakan tanggung jawab semua pihak.
Masalah pendidikan amat
luas jikalau kita pikirkan, menyangkut berbagai aspek kehidupan, tidak hanya
dibtasi dalam kelas saja, bukan persoalan proses belajar mengajar semata, oleh
karena itu diperlukan berpikir holistic integralistik futuris dalam memecahkan
masalah-masalah pendidikan itu. Kontribusi intervensi berbagai disiplin
ilmu-ilmu social yang diperlukan, untuk memecahkan masalah pendidikan dalam
menyongsong pembentukan kulitas manusia Indonesia, harus sesuai dengan tuntutan
perubahan masyarakat.
Dari uraian-uraian yang
telah dipaparkan di atas, maka untuk lebih mempertegas masalah yang akan dikaji
dan memperjelas lebih mendalam lagi mengenai kondisi dan nilai social budaya
pendidikan, dan pendekatan holistik integralistik futuristik dalam memecahkan
masalah pendidikan, di bawah ini di rumuskan satu persatu permasalahan yang
akan di bahas pada bab berikutnya, yaitu:
1. Bagaimana
masalah pendidikan dan sumber daya manusia Indonesia
2. Bagaimana
peluang dan tantangan pendidikan
3. Bagaimana
implikasi peluang dan tantangan pendidikan terhadap lembaga pendidikan tenaga
kependidikan (LPTK)
4. Seperti
apa kondisi dan nilai social budaya pendidikan ilmu pengetahuan social (IPS)
dalam pembangunan nasional
5. Bagaimana
tantangan dan peluang bagi pendidikan ilmu pengetahuan social (PIPS)
6. Apa
saja implikasi social budaya terhadap pendidikan ilmu pengetahuan social
7. Bagaimana
pendekatan integralistik dan futuristic dalam memecahkan masalah pendidikan
8. Bagaimana
data empirik tentang kualitas manusia Indonesia dan pendidikan
B.
Pendidikan
dan Sumber Daya Manusia
Pembicaraan tentang
sumber daya manusia senantiasa diorientasikan dalam pemikiran ekonomi yang
menempatkan manusia sebagai faktor produksi, sehingga sering terperangkap pada
upaya memperkecil peran dan potensi menusia sebagai subyek seutuhnya. berkaitan
dengan pendidikan, sumber daya manusia mesti ditempatkan dalam pemikiran
manusia sebagai subjek pendidikan yang seutuhnya memiliki potensi untuk mandiri
dan berkembang sesuai dengan kodrat dan lingkungannya.
Kaitannya dengan peran
pendidikan dalam pengembangan sumber daya manusia, kiranya perlu diantisipasi
masalah demografi. Muncul pemikiran para pakar yang memperkirakan bahwa
menjelang abad ke 21 penduduk Indonesia akan mencapai sekitar 250 juta orang
lebih. Kondisi jumlah seperti ini akan melahirkan empat masalah utama; pangan,
lapangan kerja, urbanisasi, tata ruang dan mutu lingkungan hidup. Para pakar
ekonomi dan manajemen mengisyaratkan bahwa yang di-pandang strategis adalah
usaha peningkatan produktivitas sistem nasional, seyogyanya mendapatkan
prioritas utama dalam pembangunan nasional. Jika hal ini dilakukan akan
memiliki dampak positif ke berbagai sektor dan dimensi kehidupan bangsa.
Di
lain pihak perlu disadari bahwa keberhasilan produktivitas sistem nasional
ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya yang diakui bahwa pendidikan
merupakan wahana dan aset sosial yang dapat meningkatkan kualitas tersebut.
Konsekuensinya, pendidikan tidak hanya terbatas pada proses pendidikan sekolah
akan tetapi posisi dan perannya akan semakin meluas menjadi kekuatan sosial
budaya.
Pentingnya
peran pendidikan dan ilmu pendidikan dalam meningkatkan sumber daya manusia
(SDM). Dimana kehidupan manusia makin diwarnai oleh menguatnya hidup
kompetitif, dimana kemampuan kompetitif ini merupakan tuntutan bagi
pengembangan kualitas. Pendidikan jelas tidak hanya sekedar mengajarkan atau
menjejalkan informasi, akan tetapi pendidikan merupakan tranformasi kualitas
personal dan kehidupan social budaya. Pendidikan yang merupakan pencurahan
informasi, tanpa mengembangkan potensi berpikir peserta didik, akan menjadi
sumber daya manusia berkualitas yang tidak mampu berkompetitif.
C.
Peluang
dan Tantangan Pendidikan
Pendidikan memiliki banyak
peluang untuk menciptakan kondisi berkembangnya potensi manusia, untuk
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, pengetahuan, keterampilan dan
kemampuan etos kerja dalam kerangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Peran
pendidikan dan ilmu pendidikan seyogyanya tertata dalam proses pembangunan
nasional. Kecenderungan menunjukkan titik berat pembangunan dalam bidang
pendidikan lebih diarahkan kepada peningkatan mutu pada semua jenjang
pendidikan dan memperluas kesempatan pendidikan; terutama pada Sekolah Tingkat
Lanjutan Pertama (SLTP). Pendekatan kualitas dan kuantitas sering menimbulkan
pemikiran dilematis karena dalam memecahkan pengambilan keputusan dihadapkan
kepada dua pilihan kebijakan yang keduanya penting tetapi karena keterbatasan sumber
daya (dana, tenaga, dan waktu) dan kendala lain, kedua pilihan itu tidak
menggembirakan. Kiranya sulit dihindari bahwa kondisi dan posisi seperti ini
merupakan salah satu kelemahan pendidikan sekolah sekarang ini, sementara itu
peningkatan kualitas sumber daya manusia menyongsong abad ke-21 yang membawa
tuntutan kualitas SDM semakin meningkat merupakan tantangan.
Kemudian persoalan
pendidikan nasional dalam peningkatakan sumber daya manusia tidak hanya
terperangkap oleh peningkatan mutu dan memperluas kesempatan, akan tetapi juga
terperangkap oleh pemikiran, yang memperkecil arti pendidikan dalam formalistik
persekolahan yang nantinya akan mempersempit peran pendidikan juga memperckecil
makna pendidikan.
D.
Implikasi
terhadap Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK)
Peluang
dan tantangan dalam usaha memerankan pendidikan dan ilmu pendidikan dalam dalam
meningkatkan sumber daya manusia seperti dikemukakan di atas, berdampak
terhadap Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) serta nilai sosial
tenaga kependidikan dewasa ini. Salah satu dampaknya LPTK lebih terkesan
sebagai lembaga yang mempersiapkan “Guru” persekolahan, ketimbang tenaga
kependidikan dalam arti luas, yang secara sosiologis menempatkan lapangan kerja
lulusan LPTK “dibatasi” pada jalur persekolahan. Kondisi ini makin memperkuat
berbagai pihak untuk tidak menerima lulusan lembaga ini, walaupun sebenarnya
mereka memerlukan jasa pendidikan dalam rangka peningkatkan sumber daya manusia
melalui DIKLAT pada lembaga atau perusahaan mereka. Kondisi ini cenderung
menguat dengan adanya berbagai kebijakan yang telah diformalkan masih dirasakan
amat membatasi mobilitas SDM lulusan LPTK.
Kiranya
sulit disangkal bahwa semakin berkurangnya minat calon mahasiswa untuk LPTK ada
kaitannya dengan kondisi tersebut, ditambah dengan jaminan kesejahteraan guru
belum menggembirakan, dibanding dengan tenaga pada lapangan lain. Sementara itu
peran LPTK dalam pendekatan kuantitas untuk memenuhi kebutuhan guru, lebih
menonjol perannya sebagai lembaga pemasok ketimbang sebagai pengembang dan
pendukung ilmu pengetahuan. Kiranya LPTK sebagai subsistem dari pendidikan
nasional masih juga dihadapkan pada pemikiran dilematis kuantitas dan kualitas
yang sulit berkelit dari beban perekayasaan sentralistik dalam kebijakan akademiknya.
E.
Implikasi
Sosial Budaya dan Pendidikan
Pendidikan
nasional masih diwarnai oleh pemikiran dilematis antara kuantitas dan kualitas
pendidikan, memunculkan tantangan bagaimana menjadikan dua sisi tersebut
menjadi kekuatan dalam menggali sumber daya pendidikan. Terbatasnya dana dan
tenaga pendidikan yang tersedia dihadapkan kepada masalah peningkatan mutu dan
kesempatan belajar. Menuntut penggalian sumber daya pendidikan yang terdapat
dalam masyarakat dengan konsep pendidikan merupakan tanggung jawab bersama.
Disamping itu menempatkan pendidikan tidak terbatas dalam pemikiran formalistik
persekolahan. Sementara itu perlu adanya reposisi pendidikan termasuk
pendidikan IPS dijadikan titik orentasi pengembangan, Maka pendidikan akan
lebih berperan dalam mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia yang unggul
untuk mendukung tumbuh berkembangnya teknologi social dan system social.
F.
Pendekatan
Integralistik dan Futuristik
Pendekatan
integralistik menempatkan masalah pendidikan merupakan bagian integral dari masalah
social budaya, konsekuensinya keharusan menggunakan pendekatan interdisipliner
dan multi disiplin dalam menganalisa masalah sosial. Pendekatan futuris,
pendekatan yang mengantisipasi pendidikan menjorok kepada masa mendatang,
pendekatan pemecahan masalah pendidikan didasarkan atas antisipasi perubahan
social. Menurut Tilaar (1967), futurisme lahir dikarenakan oleh adanya dua
jenis keresahan menganalisis pendidikan dewasa ini: pendekatan tidak
mengantisipasi perubahan social yang bakal terjadi, isi kurikulum terutama
diarahkan kepada masyarakat sekarang, yang mengakibatkan pendidikan itu steril
terhadap masa depan dan terpaku terhadap kebutuhan jangka pendek. Menurut
Tilaar, sikap ini tidak lain membuka jalan kearah katasropi, dan dengan
demikian pendidikan telah kehilangan “nilai moralnya”. Tanpa dilakukan
pendekatan ini, pendidikan tidak akan mampu memecahkan persoalannya secara
tuntas dan akan timbul kembali masalah yang lebih serius dalam waktu yang
sangat singkat.
Dalam
menyongsong era informasi modern, kualitas manusia yang menurut Soepardjo
Adikusumo ditandai dengan informational
capability, analytical capability, dan scanning
capability, pendidikan harus mampu memunculkan ketiga kemampuan tersebut.
Untuk itu pendidikan harus mampu memberikan kemudahan memperoleh informasi,
menganalisis informasi, dan mendayagunakannya untuk memecahkan masalah
kehidupan.
G.
Data
empirik tentang kualitas manusia Indonesia dan Pendidikan
Manusia
Indonesia lebih mengutamakan ijazah (hasil) daripada kemampuan, sejalan dengan
itu pendidikan hanya bersifat hafalan dan orientasi kepada pemilikan ijazah,
ditunjang dengan budaya sector formal yang lebih mementingkan aspek formal
daripada kemampuan nyata, lembaga pendidikan formal nyaris sebagai tempat
pendapatan ijazah daripada melatih guna mendapatkan kemampuan.
Masalah
pendidikan di Indonesia masih berkisar/bergelut dengan masalah kuantitas untuk
sekolah menengah, dengan kualitas lebih ditekankan kepada pendidikan dasar dan
pendidikan tinggi. Pendidikan masih menutup diri dari intervensi IPTEK,
mempersempit diri hanya bertumpu pada pendidikan formal, wawasan filosofis
tergeser oleh desakan pragmatis dan konvensional, sehingga antisipasi futuris
kualitas manusia Indonesia tidak menjadi dasar pembentukan kebijaksanaan pemecahan
masalah pendidikan. Akibatnya pendekatan parsial dan formal mendominasi
pengahampiran fenomena pendidikan, makin menjauh tuntutan dan kenyataan.
Terdapat
beberapa gejala perilaku yang dapat merusak kualitas manusia Indonesia yang
merupakan tantangan dan ancaman, seperti: kemerosotan nilai-nilai etis
idealitas tergeser oleh egoisme untuk keuntungan pribadi, rendahnya nilai-nilai
kesetiakawanan, tumbuhnya nilai-nilai spekulatif, responsive terhadap
kemudahan-kemudahan yang ditawarkan tanpa pemikiran yang rasional, budaya
gengsi lebih tinggi sehingga nilai-nilai keropos berusaha ditutupi, menampilkan
berbagai pola tingkah laku yang tidak solid, menurunnya mitos simbolik.
Meluntunya
nilai-nilai kemandirian seiring dengan membudayanya nilai-nilai korupsi, melemahnya
semangat kerja keras, mudah menyerah, semanat kejuangan yang dapat melahirkan
pasrah terhadap keadaan apatis, menghindari dari kesulitan, ingin selalu
mendapatkan “kebijaksanaan” sekalipun melanggar kesepakatan umum.
H.
Analisis dan Pembahasan
1.
Pendidikan
dan Sumber Daya manusia
Pendidikan merupakan
investasi besar bagi sebuah negara. Pendidikan menyangkut kepentingan semua
warga negara, masyarakat, negara, kelembagaan dan berbagai kepentingan lain.
Ini disebabkan pendidikan berkaitan erat dengan outcomenya berupa tersedianya sumber daya manusia (SDM) yang handal
untuk menyuplai berbagai kepentingan. Oleh sebab itu titik berat pembangunan
pendidikan terletak pada peningkatan mutu setiap jenis dan jenjang, serta
perluasan kesempatan belajar pada pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi.
Pendidikan memegang kunci keberhasilan suatu negara di masa depan. Namun
kenyataan membuktikan, khususnya di Indonesia, pendidikan masih belum dipandang
vital, khususnya oleh para pemegang tampuk kepemimpinan negara.
Menurut Tilaar (2004),
pendidikaan saat ini telah direduksikan sebagai pembentukan intelektual semata
sehingga menyebabkan terjadinya kedangkalan budaya dan hilangnya identitas
lokal dan nasional. Perubahan global dan liberalisasi pendidikan memaksa
lembaga-lembaga pendidikan menghasilkan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan
pasar. Pendidikan yang hanya berorientasi pasar sesungguhnya telah kehilangan
akar pada kesejatian dan identitas diri. Gejala-gejala pendangkalan ini
sekarang mudah dibaca.
Misi pendidikan adalah
mewariskan ilmu dari generasi ke generasi selanjutnya. Ilmu yang dimaksud
antara lain pengetahuan, tradisi dan nilai-nilai budaya (keberadaban). Secara
umum penularan ilmu tersebut telah diemban oleh orang-orang yang konsen
terhadap generasi selanjutnya. Mereka diwakili oleh orang yang punya visi
kedepan, yaitu menjadikan generasi yang lebih baik dan beradab. Apabila
berbicara pendidikan berskala nasional maka secara umum konsep pendidikan
nasional di Indonesia tak lagi memperlihatkan keberpihakan terhadap dunia
pendidikan di berbagai daerah. Salah satu contoh yaitu kontroversial mengenai
Ujian Nasional yang memperlihatkan betapa sentralistiknya pendidikan saat ini.
Pusat terkesan memaksa seleranya terhadap anak didik di daerah.
Hal senada dengan apa
yang dikatakan oleh Tilaar (2012:156), bahwa: system pendidikan nasional yang
sangat sentralistik dan kemudian melaksanakan Ujian Nasional (UN) yang kaku
bahkan akan mematikan kemampuan kreativitas peserta didik. Dengan adanya UN
yang sama dari Sabang sampai Merauke, maka tidak da peluang untuk pengembangan
kreativitas peserta didik. Belum lagi impilkasi yang terjadi terhadap kerusakan
moral dari peserta didik karena tujuannya ialah lulus dari UN dengan berbagai
cara meskipun dengan cara-cara amoral.
Sesungguhnya pendidikan
nasional harus bertitik-tolak kebutuhan anak Indonesia. Artinya pendidikan
tidak terlepas dari kebudayaan serta dalam konteks social ekonomi suatu bangsa.
Pendidikan nasional yang sesuai dengan kebutuhan anak Indonesia berkaitan
dengan kebijakan desentralisasi serta otonomi daerah. Dengan adanya otonomi
pendidikan yang diberikan kepada Pemerintah Daerah merupakan suatu hal yang
positif dalam rangka kontekstualisasi pendidikan yang disesusaikan dengan
kebudayaan local serta potensi kekayaan alam Nusantara. Dengan proses belajar
kritis dan kreatif berarti pendidikan nasional meletakkan dasar bagi lahirnya
para inventor dan manusia yang bisa menciptakan peluang usaha dalam masyarakat
Indonesia.
2.
Bagaimana
Peluang dan Tantangan Pendidikan Kita ke depan
Menghadapi perubahan dan tuntutan zaman, maka sistem
pendidikan kita semestinya harus memikirkan bagaimana bisa menciptakan
manusia-manusia yang handal dan manusia yang kreatif apabila telah keluar dari
lembaga pendidikan yang telah ditempuhnya. Bukan malah sebaliknya hanya
terfokus pada kuantitas keluarannya, melainkan kualitas juga perlu
dipertimbangkan dengan matang. Saat ini semua umat manusia sedang memuja
globalisasi (manusia mengglobal). Maka sudah semestinya lah semua pihak yang
terkait (pemerintah maupun komponen masyarakat) memikirkan kualitas pendidikan
untuk pendidikan generasi masa kini dan masa depan.
Namun untuk mencapai dan meningkatkan kualitas
pendidikan kita pastinya akan mengalami hambatan atau tantangan baik dari
penyusunan kurikulum mapun pelaksana kurikulum serta dihadapkan masalah
pengaruh negative globalisasi terhadap manusia Indonesia. Dalam kaitannya dengan
pendidikan, Tilaar, (1998),
mengemukakan bahwa pendidikan nasional dewasa ini sedang dihadapkan pada empat
krisis pokok, yang berkaitan dengan kuantitas, relevansi atau efisiensi
eksternal, elitisme dan manajemen. Lebih lanjut dikemukakan bahwa sedikitnya
ada enam masalah pokok sistem pendidikan nasional: (1) menurunnya akhlak dan
moral peserta didik, (2) pemerataan kesempatan belajar, (3) masih rendahnya
efisiensi internal sistem pendidikan, (4) status kelembagaan, (5) manajemen
pendidikan
yang tidak sejalan dengan pembangunan nasional, dan (6) sumber daya yang belum
profesional.
Menghadapi
hal tersebut, perlu dilakukan penataan terhadap sistem pendidikan secara kaffah (menyeluruh), terutama berkaitan
dengan kualitas pendidikan, serta relevansinya dengan kebutuhan masyarakat dan
dunia kerja. Dalam hal ini perlu adanya perubahan sosial yang memberi arah
bahwa pendidikan merupakan pendekatan dasar dalam proses perubahan itu.
Pendidikan adalah kehidupan, untuk itu kegiatan belajar harus dapat membekali
peserta didik dengan kecakapan hidup (life
skill atau life competency) yang
sesuai dengan lingkungan kehidupan dan kebutuhan peserta didik. Pemecahan
masalah secara reflektif sangat penting dalam kegiatan belajar mengajar yang
dilakukan melalui kerjasama secara demokratis. Unesco (1990) mengemukakan dua prinsip pendidikan yang sangat
relevan dengan Pancasila: pertama; pendidikan
harus diletakkan pada empat pilar, yaitu belajar mengetahui (learning to know), belajar melakukan (learning to do), belajar hidup dalam
kebersamaan (learning to live together),
dan belajar menjadi diri sendiri (learning
to be); kedua, belajar seumur hidup (life long learning). Kultur yang demikian harus dikembangkan dalam
pembangunan manusia, karena pada akhirnya aspek kultural dari kehidupan manusia
lebih penting dari pertumbuhan ekonomi.
3.
Bagaimana
implikasi tantangan pendidikan terhadap Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidikan
(LPTK)
Mengutip
pendapat Al Muchtar, S. (2001:45), bahwasanya peluang dan tantangan dalam usaha
memerankan pendidikan dan ilmu pendidikan dalam meningkatkan sember daya
manusia, berdampak terhadap LPTK serta nilai social tenaga kependidikan dewasa
ini. Salah satu dampaknya LPTK lebih terkesan sebagai lembaga yang
mempersiapkan “Guru” persekolahan, ketimbang tenaga kependidikan dalam arti
luas, yang secara sosiologis menempatkan lapangan kerja lulusan LPTK “dibatasi”
pada jalur persekolahan.
Dari
pendapat di atas, menurut saya, pemikiran tersebut masih relevan dengan keadaan
yang terjadi saat ini. Lulusan LPTK kurang diperhatikan dan kurang dipedulikan
dalam dunia kerja yang berkenaan dengan lapangan kerja untuk perusahaan. Dan
yang lebih kasihan lagi, LPTK menjadi pusat kesalahan besar bagi masyaralat
dalam dunia pendidikan apabila tingkat kelulusan siswa sangat rendah. Hal ini
sering terjadi, apabila siswanya bodoh dan tidak naik kelas atau tidak lulus,
maka yang disalahkan adalah gurunya. Kemudian akan merembet kepada” lulusan
perguruan tinggi mana guru itu”. Nah, ini yang menjadi bahan pemikiran bersama,
bagaimana LPTK bisa mencetak guru-guru yang professional dan mempunyai
kompetensi di bidangnya. Dan tidak hanya kompetensi yang harus dikembangkan,
namun juga kemampuan bidang lainnya dan keterampilan (skill) juga perlu
dimiliki calon lulusan guru. Mengapa demikian, karena untuk mencetak siswa yang
berprestasi dan handal, maka peran guru sangat penting (urgen) mendidik,
mengajar. membimbing, dan melatih siswa dalam proses pembelajaran di sekolah.
Oleh
karena itu, untuk meningkatkan kualitas tenaga guru, maka guru dan tenaga
kependidikan professional harus menjalani proses pembinaan dan pengembangan
secara kontinyu. pembinaan dan pengembangan profesi dan karir guru, termasuk
juga tenaga kependidikan pada umunya, dilaksanakan melalui berbagai strategi
dalam bentuk pendidikan dan pelatihan (diklat) maupun bukan diklat (Danim, S.
2010), antara lain:
1) Pendidikan
dan pelatihan
a. In-house
training (IHT)
b. Program
magang
c. Kemitraan
sekolah
d. Belajar
jarak jauh
e. Pelatihan
berjenjang
f. Kursus
singkat diperguruan tinggi atau lembaga pendidikan lainnya
g. Pembinaan
internal oleh sekolah
h. Pendidikan
lanjut
2) Kegiatan
selain pendidikan dan pelatihan
a. Diskusi
masalah-masalah pendidikan
b. Seminar
c. Workshop
d. Penelitian
e. Penulisan
buku/bahan ajar
f. Pembuatan
media pembelajaran
g. Pembuatan
karya teknologi/karya seni
6.
Implikasi
sosial budaya dan pendidikan
Pendidikan saat ini
telah direduksikan sebagai pembentukan intelektual semata, sehingga menyebabkan
terjadinya kedangkalan budaya dan hilangnya identitas lokal dan nasional
(Tilaar, 2004). Perubahan yang global dengan liberalisasi pendidikan sehingga
menuntut lembaga pendidikan untuk mampu menghasilkan kualitas peserta didik
yang dapat bersaing secara kompetitif agar dapat diterima pasar. Tuntutan untuk
memenuhi kebutuhan pasar ini pada akhirnya akan mendorong lembaga pendidikan
menjadi lebih bercirikan knowledge based
economy institution. Pendidikan yang hanya berorientasi untuk mencetak
generasi yang bisa diterima pasar secara ekonomis hanya akan mampu mencetak
peserta didik yang berpikir dan bertindak global sehingga mereka tidak memiliki
kecerdasan emosional yang akhirnya bermuara pada terjadinya krisis moral dari
peserta didik.
Landasan sosial budaya
pendidikan mencakup kekuatan sosial masyarakat yang selalu berkembang dan
berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Kekuatan tersebut dapat berupa
kekuatan nyata dan potensial yang berpengaruh dalam perkembangan pendidikan dan
sosial budaya seiring dengan dinamika masyarakat. Sehingga kondisi sosial
budaya diasumsikan mempengaruhi terhadap program pendidikan yang tercermin
dalam kurikulum. Hunt (1975) mengemukakan:
Study hits base social and culture from
education aims to supply teacher with erudition that deepen about society and
where they alive and to help student teacher to detect that explanation hits
society and culture of vital importance mean to realize about education
problem.
Berdasarkan
uraian tersebut disimpulkan bahwa kajian mengenai dasar sosial dan budaya dari
pendidikan bertujuan untuk membekali guru dengan pengetahuan yang mendalam
tentang masyarakat dan kebudayaan di mana mereka hidup dan untuk membantu calon
guru untuk mengetahui bahwa pengertian mengenai masyarakat dan kebudayaan
sangat penting artinya guna memahami tentang masalah pendidikan.
Kebudayaan dan
pendidikan memiliki hubungan timbal balik sebab kebudayaan dapat dilestarikan
dan dikembangkan dengan jalan mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi
penerus dengan jalan pendidikan, baik secara formal, nonformal, dan informal.
Sebaliknya bentuk, ciri-ciri, dan pelaksanaan pendidikan ikut ditentukan oleh
kebudayaan masyarakat di mana proses pendidikan itu berlangsung (Tirtarahardja
dan Sulo, 2005). Pendidikan jika diabaikan dapat diasumsikan sosial budaya
suatu bangsa akan mengalami kepunahan karena tidak ada proses transfer budaya
sehingga tidak ada yang melestarikan dan mengembangkan budaya.
Pendidikan bisa
dikatakan sebagai proses transformasi budaya yang merupakan kegiatan pewarisan
budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Pendidikan merupakan proses
pemanusiaan untuk menjadikan manusia memiliki rasa kemanusiaan (memanusiakan
manusia), menjadi manusia dewasa, dan manusia seutuhnya agar mampu menjalankan
tugas pokok dan fungsi secara penuh dan mengembangkan budaya.
7.
Bagaimana
pendekatan Integralistik dan futuristik dalam memecahkan masalah pendidikan
Kualitas
pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Mengapa?, kita dapat
melihat bahkan merasakan bahwa cita-cita pendidikan yang tertuang dalam tujuan
pendidikan nasional tidak terealisasi hingga kini. Sebagaimana yang termaktub
dalam Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab
II pasal 3, yang berbunyi:
“Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.”
Pendidikan mempunyai
tugas menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan. Apa jadinya bila
pembangunan di Indonesia tidak dibarengi dengan pembangunan di bidang
pendidikan?. Walaupun pembangunan fisiknya baik, tetapi apa gunanya bila moral
bangsa terpuruk.
Dan hal inilah yang
terjadi, sehingga semua bidang kehidupan bermasalah. Beberapa kenyataan yang
sering kita jumpai bersama, seorang pengusaha kaya raya justru tidak dermawan,
seorang politikus malah tidak peduli pada tetangganya yang kelaparan, atau
seorang guru justru tidak prihatin melihat anak-anak jalanan yang tidak
mendapatkan kesempatan belajar di sekolah dan begitu banyak pemimpin-pemimpin
negara ini yang korupsi dari lapisan bawah hingga atas.
Pendidikan di Indonesia
masih mengalami berbagai macam problematika. Salah satunya adalah kerancuan
sistem pendidikan yang masih bersifat positivistic dan parsial dalam memandang
peserta didik. Dalam konteks parsialisasi ini, peserta didik tidak dipandang
sebagai sosok manusia yang memiliki kepribadian secara utuh (integral),
melainkan seakan terdiri dari berbagai unsur (komponen) yang berdiri sendiri.
Cara pandang terhadap kepribadian peserta didikpun tidak sempurna dan tidak
adil. Akal dipandang sebagai raja" dalam struktur kepribadian peserta
didik. Akibat dari cara pandang seperti ini proses pendidikan dan pengajaran
mengalami pendangkalan makna sebagai penjejalan pengetahuan ke dalam otak
peserta didik.
Oleh karena itu perlu
pendekatan pembelajaran integralistik dalam mengatasi masalah pendidikan.
Pendekatan integralistik, dikenal juga dengan holistik (sesuai dengan makna
harfiah keduanya :keseluruhan) adalah pendekatan secara menyeluruh atau terpadu
dengan mencari hubungan fungsional maupun komplementer dari semua komponen yang
terlibat dalam suatu proses. (Ludjito, A.1995). kemudian Suwarma (2001)
mengatakan bahwa, pendekatan holistic memandang pendidikan secara menyeluruh,
sebagai persoalan yang menyangkut aspek kehidupan yang menuntut tanggung jawab
bersama.
Sutarno mengemukakan
bahwa pendekatan Holistik (Integralistik), pendidikan merupakan proses yang
utuh, melahirkan formulasi hakekat pendidikan sebagai suatu proses menumbuhkembangkan
eksistensi peserta didik yang memasyarakat, membudaya dalam tata kehidupan yang
berdimensi lokal, nasional, dan global. Komponen-komponen yang terkandung di
dalamnya:
1. Pendidikan
merupakan suatu proses berkesinambungan.
2. Proses
pendidikan berarti menumbuh-kembangkan eksistensi manusia.
3. Eksistensi
manusia yang memasyarakat.
4. Proses
pendidikan dalam masyarakat yang membudaya.
5. Proses
bermasyarakat dan membudaya mempunyai dimensi waktu dan ruang
Pendidikan yang mampu
mendukung pembangunan di masa mendatang adalah pendidikan yang mampu
mengembangkan potensi peserta didik, sehingga yang bersangkutan mampu
menghadapi dan memecahkan problema kehidupan yang dihadapinya. Pendidikan harus
menyentuh potensi nurani maupun potensi kompetensi peserta didik. Konsep
pendidikan tersebut terasa semakin penting ketika seseorang harus memasuki
kehidupan di masyarakat dan dunia kerja, karena yang bersangkutan harus mampu
menerapkan apa yang dipelajari di sekolah untuk menghadapi problema yang
dihadapi dalam kehidupan sehari-hari saat ini maupun yang akan datang.
Pendidikan merupakan
proses sistematis untuk meningkatkan martabat manusia secara holistik, yang
memungkinkan ketiga dimensi kemanusiaan paling elementer di atas dapat
berkembang secara optimal. Dengan demikian, pendidikan seyogyanya menjadi
wahana strategis bagi upaya mengembangkan segenap potensi individu, sehingga
cita-cita membangun manusia Indonesia seutuhnya dapat tercapai (Depdiknas,
2005).
Pendidikan holistik
menurut Jeremy Henzell-Thomas diacu dalam Latifah (2008) merupakan suatu upaya
membangun secara utuh dan seimbang pada setiap murid dalam seluruh aspek
pembelajaran, yang mencakup spiritual, moral, imajinatif, intelektual, budaya,
estetika, emosi dan fisik yang mengarahkan seluruh aspek-aspek tersebut ke arah
pencapaian sebuah kesadaran tentang hubungannya dengan Tuhan yang merupakan
tujuan akhir dari semua kehidupan didunia.
Pendidikan Holistik
merupakan suatu respon yang bijaksana atas ekologi, budaya, dan tantangan moral
pada abad ini, yang bertujuan untuk mendorong para kaum muda sebagai generasi
penerus untuk dapat hidup dengan bijaksana dan bertanggung jawab dalam suatu
masyarakat yang saling pengertian dan secara berkelanjutan serta ikut berperan
dalam pembangunan masyarakat. Pendidikan holistik berkembang sekitar tahun
1960-1970 sebagai akibat dari keprihatinan tewrhadap krisis ekologis, dampak
nuklir, polusi kimia, dan radiasi, kehancuran keluarga, hilangnya masyarakat
tradisional, hancurnya nilai-nilai tradisional serta institusinya.
Pada saat ini banyak
model pendidikan yang berdasarkan pandangan abad ke 19 yang menekankan pada
reductionism (belajar terkotak-kotak), linier thinking (bukan sistem) dan
positivisme (fisik yang utama), yang membuat siswa sulit untuk memahami meaning
relevance dan value antara yang dipelajari disekolah dengan kehidupannya. Oleh
karena itu, dibutuhkan sistem pendidikan yang terpusat pada anak yang dibangun
berdasarkan asumsi connectedness, wholeness dan being fully human.
Untuk mencapai tujuan
pendidikan holistik, maka kurikulum yang dirancang juga harus diarahkan untuk
mencapai tujuan pembentukan manusia holistik. Termasuk di dalamnya membentuk
anak menjadi pembelajar sejati, yang senantiasa berpikir holistik, bahwa segala
sesuatu adalah saling terkait atau berhubungan. Beberapa pendekatan
pembelajaran yang dianggap efektif untuk menjadikan manusia pembelajar sejati
diantaranya adalah pendekatan siswa belajar aktif, pendekatan yang merangsang
daya minat anak atau rasa keingintahuan anak, pendekatan belajar bersama dalam
kelompok, kurikulum terintegrasi, dan lain-lain (Megawangi et.al, 2005).
Pendidikan holistik
dapat diaplikasikan dalam proses pembelajaran dengan beberapa cara, diantaranya
dengan menerapkan Integrated Learning atau pembelajaran terintergrasi/ terpadu,
yaitu suatu pembelajaran yang memadukan berbagai materi dalam satu sajian
pembelajaran. Inti pembelajaran ini adalah agar siswa memahami keterkaitan
antara satu materi dengan materi lainnya, antara saru mata pelajaran dengan
mata pelajaran lain. Dari integrated learning inilah muncul istilah integrated
curriculum (kurikulum terintegrasi/terpadu). Karakteristik kurikulum
terintegrasi menurut Lake dalam Megawangi, et.al (2005) antara lain : Adanya
keterkaitan antar mata pelajaran dengan tema sebagai pusat keterkaitan,
menekankan pada aktivitas kongkret atau nyata, memberikan peluang bagi siswa
untuk bekerja dalam kelompok. Selain memberikan pengalaman untuk memandang
sesuatu dalam perspektif keseluruhan, juga memberikan motivasi kepada siswa
untuk bertanya dan mengetahui lebih lanjut mengenai materi yang dipelajarinya.
Kurikulum terintegrasi
dalam pendidikan holistik membuat siswa belajar sesuai dengan gambaran yang
sesungguhnya, hal ini karena kurikulum terintegrasi mengajarkan keterkaitan
akan segala sesuatu sehingga terbiasa memandang segala sesuatu dalam gambaran
yang utuh. Kurikulum terintegrasi dapat memberikan peluang kepada siswa untuk
menarik kesimpulan dari berbagai sumber infomasi berbeda mengenai suatu tema,
serta dapat memecahkan masalah dengan memperhatikan faktor- faktor berbeda
(ditinjau dari berbagai aspek). Selain itu dengan kurikulum terintegrasi,
proses belajar menjadi relevan dan kontekstual sehingga berarti bagi siswa dan
membuat siswa dapat berpartsipasi aktif sehingga seluruh dimensi manusia
terlibat aktif (fisik, social, emosi, akademik).
Berbicara tentang
pendektan futuristic, dengn mengutip pendapat Suwarma (2001:53), mengatakan
bahwa pendekatan futuris merupakan pendekatan yang mengantisipasi pendidikan
menjorok kepada masa mendatang, pendekatan pemecahan masalah pendidikan
didasarkan atas antisipasi perubahan social pada masa mendatang. Dalam konteks
pembelajaran, Futuristic model memasukkan pendekatan yang berpusat pada
pembelajar ke dalam pendidikan di mana pembelajar mengerti kekuatan dan
kelemahannya sebagai pembelajar, dan di mana pembelajar dapat diberikan kuasa
untuk menjadi pembelajar seumur hidup (life-long
learner). Pengalaman belajar dirancang untuk membantu pembelajar untuk
mengintegrasikan pengetahuan yang baru dan meningkatkannya melalui wawasan yang
baru dengan membandingkan, membedakan, menginduksi, mendeduksi dan
menganalisis. Sebagai tambahan, pengalaman belajar menyediakan kesempatan bagi
pembelajar untuk menggunakan pengetahuan itu secara bermakna dalam (1)
pengambilan keputusan yang diinformasikan, (2) pemikiran yang kritis, kreatif
dan futuristik, dan (3) pemecahan masalah.
Model futuristik
dibentuk dengan asumsi bahwa masa depan berbeda dengan masa lalu. Oleh karena
itu pembelajar perlu di didik agar mereka siap untuk menghadapi tantangan di
masa depan. Perspektif masa depan sering dikaitkan dengan kurikulum
rekonstruksi sosial, yang menekankan kepada proses mengembangkan hubungan
antara kurikulum dan kehidupan sosial, yang menekankan kepada proses
mengembangkan hubungan antara kurikulum dan kehidupan sosial, politik, dan
ekonomi masyarakat. Setiap individu harus mampu mengenali berbagai permasalahan
yang ada di masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan yang sangat cepat.
Dengan kata lain,
kurikulum dengan futuristic model akan mencetak pembelajar yang diharapkan
dapat mengatasi masalah-masalah yang akan timbul di masa mendatang, juga
mempersiapkannya untuk terjun ke dalam masyarakat masa depan sesuai dengan
prediksi yang telah dilakukan.
Ada tiga pendekatan
dalam implementasi model kurikulum ini, yaitu:
1)
Materi
akan disediakan melalui berbagai representasi dengan berbagai strategi untuk
merealisasikannya.
2)
Kurikulum akan
dirancang sebagai modul dan diakses melaui jaringan (network).
3) Materi, pengalaman dan dukungan akan diambil dari
sumber yang luas dan terintegrasi dalam struktur inti suatu kurikulum.
8.
Masalah
kualitas manusia Indonesia dan Pendidikan
Kualitas
pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru,
sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya harapan terpendam
yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang, guru-guru saat ini
kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima di
jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama
mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid,
mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan.
Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama
lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru
berpengalaman yang pensiun
Terdapat
beberapa gejala perilaku yang dapat merusak kualitas manusia Indonesia yang
merupakan tantangan dan ancaman, seperti: kemerosotan nilai-nilai etis
idealitas tergeser oleh egoisme untuk keuntungan pribadi, rendahnya nilai-nilai
kesetiakawanan, tumbuhnya nilai-nilai spekulatif, responsive terhadap
kemudahan-kemudahan yang ditawarkan tanpa pemikiran yang rasional, budaya
gengsi lebih tinggi sehingga nilai-nilai keropos berusaha ditutupi, menampilkan
berbagai pola tingkah laku yang tidak solid, menurunnya mitos simbolik
(Suwarma, 2001).
Masalah
kualitas manusia pada dasarnya tergantung dengan pendidikan yang ada dalam
sebuah Negara. Perlunya pemerataan pendidikan di Negara Indonesia biar semua masyarakat
bisa merasakan dan mengenyam pendidikan.
I.
Kesimpulan
1. Pendidikan
nasional masih berkutat dengan dua pemikiran yang dilematis antara segi
kuantitas dan kualitas pendidikan. Namun menjadi sebuah tantangan dan harapan
baru bagi pendidikan nasional apbila menjadikan kedua aspek tersebut menjadi
satu kesatuan yang utuh dan dipandang sangat penting sehingga nantinya menjadi
kekuatan dalam menggali dan menciptakan sumber daya pendidikan.
2. Perlu
dilakukan penataan terhadap sistem pendidikan secara kaffah (menyeluruh), terutama berkaitan dengan kualitas pendidikan,
serta relevansinya dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja. Dalam hal ini
perlu adanya perubahan sosial yang memberi arah bahwa pendidikan merupakan
pendekatan dasar dalam proses perubahan itu. Pendidikan adalah kehidupan, untuk
itu kegiatan belajar harus dapat membekali peserta didik dengan kecakapan hidup
(life skill atau life competency) yang sesuai dengan lingkungan kehidupan dan
kebutuhan peserta didik.
3. Untuk
meningkatkan kualitas tenaga guru, maka guru dan tenaga kependidikan
professional harus menjalani proses pembinaan dan pengembangan secara kontinyu.
pembinaan dan pengembangan profesi dan karir guru, termasuk juga tenaga
kependidikan pada umunya, dilaksanakan melalui berbagai strategi dalam bentuk
pendidikan dan pelatihan (diklat) maupun bukan diklat.
4. Pendidikan
di Indonesia masih mengalami berbagai macam problematika. Salah satunya adalah
kerancuan sistem pendidikan yang masih bersifat positivistic dan parsial dalam
memandang peserta didik. Dalam konteks parsialisasi ini, peserta didik tidak
dipandang sebagai sosok manusia yang memiliki kepribadian secara utuh
(integral), melainkan seakan terdiri dari berbagai unsur (komponen) yang
berdiri sendiri. Cara pandang terhadap kepribadian peserta didikpun tidak
sempurna dan tidak adil. Akal dipandang sebagai raja" dalam struktur
kepribadian peserta didik. Akibat dari cara pandang seperti ini proses
pendidikan dan pengajaran mengalami pendangkalan makna sebagai penjejalan
pengetahuan ke dalam otak peserta didik.
5. Pendidikan
Nasional harus mampu melahirkan sumber daya manusia yang handal dan berakhlak
mulai, yang mampu bekerja sama dan bersaing, menguasai ilmu pengetahuan dan
teknolgi, memiliki etos kerja, dan mampu membangun budaya kerja yang lebih
produktif dalam menghadapi era globalisasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Al
Muchtar (2001). Pendidikan dan Masalah
Sosial Budaya. Bandung: Gelar Pustaka Mandiri
Danim,
S. (2010). Profesi Kependidikan. Bandung.
Alfabeta.
Departemen
Pendidikan Nasional. (2003). Kurikulum
2004 : Kompetensi Standar Mata Pelajaran Sains. Jakarta: DepdiknasRepublik
Indonesia.
Dipdiknas,
2006, Panduan Pengembangan Silabus Mata
Pelajaran IPS SMP/Mts, Jakarta: Direktorat Pembinaan SMP.
Depdiknas.
2005. Rencana Strategis Departemen Pendidikan
Nasional Tahun 2005 – 2009. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.
Latifah,
M.2008. Pendidikan Holistik. Bahan
Kuliah (tidak dipublikasikan). Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Megawangi,
R., Melly L., Wahyu F.D. 2005. Pendidikan
Holistik. Cimanggis: Indonesia Heritage Foundation
Somantri
(1993). Beberapa Pokok Pikiran tentang:
Penelusuran Filsafah Ilmu tentang Pendidikan IPS dan kaitan Struktural-Fungsionalnya dengan
Disiplin Ilmu-Ilmu Sosial. Ujung Pandang: Panitia Forum Komunikasi IV
Pimpinan FPIPS IKIP dan JIPS-FKIP Universitas.
Tilaar, H.A.R., 1999, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani
Indonesia, Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Remaja Rosdakarya,
Bandung.
Tilaar,
A. R. 2004. Paradigma Baru Pendidikan
Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.
Tirtarahardja,
U., dan Sulo, S. 2005. Pengantar
Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
http://himcyoo.wordpress.com/2011/12/01/pendidikan-dan-kebudayaan/diakses
pada hari selasa tanggal 9 Oktober 2013
(_____,2009,
http://www.scribd.com/doc/13977506/Teacher-Professionalism)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar